Minggu, 13 November 2011

Tejatuh Dalam Ketinggian

Setiap orang tentunya mempunyai kegiatan yang sangat di senanginya walaupun  tak menutup kemungkinan kegiatan itu akan berubah-ubah. Kegitatan ini biasa kita sebut dengan hobi. Hobi adalah kegiatan yang dilakukan pada waktu senggang dan seperti yang kita ketahui hobi terbagi dalam dua hal, ada hobi yang dapat dilakukan di dalam rumah, gedung dan ruangan lainnya seperti bowling sampai hobi mendisain ruangan. dan yang satu lagi tentu saja hobi di luar ruangan seperti rafting, mendaki dan banyak lagi lainya.
Dalam hal hobi saya lebih menyukai kegiatan diluar ruangan yaitu mendaki, entah kenapa, mungkin karena tempatnya yang lebih besar dan lebar, hmmm … setidaknya tidak perlu ada kaca rumah tetangga yang pecah.
Jika biasanya para penulis di blog ini menuliskan kisah perjalan atau pengalaman mereka akan kegiatan sebuah perjalanan, kali ini tulisan saya lebih bersifat curhat (curahan hati). Mengingat beberapa tahun terakhir ini mendaki menjadi kegiatan favorit saya.
*****

Kesadaran Dalam Lamunan
Ketika duduk di bangku SMP kelas dua (1994) saya baru mengetahui bahwa gunung dapat di daki hingga kepuncaknya, itupun saya dapat dari cerita salah seorang guru Fisika yang menerangkan tentang titik ketingian. Berawal dari situlah saya mulai berfikir bagai mana rasanya bila kita berada diatas puncak sebuah gunung sambil memandangi Gunung Ciremai yang berada tepat di depan mata saya.
Kebetulan saya sekolah di sekitar kaki gunung ciremai yang padahal hanya beberapa kilo meter saja dari pos pendakian. Namun selama ini saya tidak pernah mengetahui bahwa ada orang/manusia yang bisa mendaki sebuah gunung. Maklum sebagai seorang bocah primitif, di desa ini informasi tentang apapun tidak ter update, mungkin hingga sekarang.
Baaimana seseorang menjalani perjalanan keatas gunung menjadi pikiran serius yang terus terbayang-bayang di benak dan kepala. Hingga berkali-kali saya tanyakan kepada guru Fisika sebagai orang yang bertanggung jawab dari pernyataannya bahwa gunung bisa didaki.
Dengan begitu sabar beliu menjelaskan bagaimana cara agar seseorang dapat mendaki sebuah gunung, tidak begitu detail sih memang penjelasannya karna beliu juga bukan seorang pendaki. Namun saya menarik kesimpulan cara cepat untuk mengetahuinya adalah dengan pergi kesana, dan melihat langsung aktivitas para pendaki gunung itu sendiri.
Dengan bermodal keingin tahuan dan sedikit nyali saya menumpang mobil truk pabrik gula yang biasanya lewat di depan sekolah menuju arah gunung ciremai, namanya juga anak sekolah tentunya alas annya selalu tidak punya uang, hehehe .. tapi berhasil. Truk yang saya tumpangi melaju kencang melewati sawah dan kebun gula menambah detukan jantung lebih cepat, karena jujur ini pertama kalinya saya pergi jauh dari rumah sekaligus tanpa ijin dan di ketahui orang tua.
Tiba-tiba saja truk berhenti di perempatan jalan lalu sang supir meneriaki saya untuk turun dan mengatakan pos gunung ciremai tinggal beberapa meter lagi seraya tangannya menunjuk kearah depan, sebelum berterima kasih truk sudah melaju kencang seperti ngejar setoran.
Perjalanan selanjutnya harus saya tempuh dengan berjalan kaki sebab arah yang supir tunjuk tadi bukan jalur umum dimana mobil truk dan angkot lewat, namun tak apalah pemandangannya disini cukup menyenangkan, dikanan kiri sawah terbentang lebar dengan hawa sejuk yang benar-benar menyegarkan bila dihirup hidung. Setelah hampir 2 jam berjalan saya terhenti di sebuah bangunan gaya kompeni atau di sebut rumah belanda dengan pagar putih setinggi dua meter dan tertulis di ambang gerbang “ Museum Linggar Jati “.
 wow … tak disangka saya berada disini, sebuah museum sejarah yang selama ini saya dengar dan biasa di jelaskan oleh guru IPS Sejarah di sekolah. takjub saya melihatnya, ingin rasanya masuk kedalam museum itu namun pagar tinggi telah jadi penghalang antara sejarah dengan saya.
“Lho . kok .. tujuan saya kan melihat pendaki “, segerah saja teringat niatan awal. kali ini saya mencoba menarik napas lebih panjang seraya menutup mata untuk melanjutkan perjalanan menuju pos pendakian dan tentunya meninggalkan bangunan sejarah ini. Belum lagi langkah dimulai, suara di belakang telinga mengagetkan saya. “ dik … pos gunung ciremai masih jauh gak ? “ , suara itu jelas terdengar dari orang bertubuh tinggi mengenakan kaos hitam dengan tas gendong yang sangat lebih besar di punggungnya di banding dua orang di belakangnya.
saya hanya mengangguk kaget bercampur heran mengapa mereka menanyakan pos gunung ciremai, “saya juga menuju ke sana “ bibir ini menjawab. Nampak senyum senang terlihat dari wajah ketiga orang ini, “tolong antarkan kami” lantasnya.
Dengan mempersilahkan mereka jalan di depan terlebih dahulu, saya melayangkan pikiran apa saja isi dari tas punggung mereka sehingga begitu besar dan terlihat sangat berat, bila di bebankan ke tubuh saya yang kecil ini pastilah tak akan sedikitpun terangkan apalagi  tas itu hampir setinggi tubuh saya.
Sebenarnya saya juga tidak tahu dimana letak pos gunung ciremai, namun harus terpaksa berbohong agar saya juga dapat kesana dengan keuntungan mempunyai teman searah. segera saja saya tanyakan pos gunung ciremai jika sesekali ada penghuni setempat  yang kebetulan berpapasan jalan, dengan bahasa sunda yang sudah tidak diragukan lagi saya segera tahu apa yang mereka ucapkan sekaligus yakin dimana letak pos gunung ciremai.
Untuk sampai kesana kami harus melewati pedesaan yang lumayan sepi dari keramaian, hanya tampak beberapa orang saja yang terlihat di depan rumah-rumah bilik sambil ngobrol sesamanya atau sedang menghisap roko sambil ngopi. Tak jauh dari musholah tampak segerombolan anak muda sedang asyik tertawa di sebuah pos ronda yang terbuat dari bambu dan bilik bambu juga tentunya.
Saya menghampiri mereka dan mengatakan bahwa ketiga orang yang bersama saya ini ingin menuju pos gunung ciremai, diantara gerombolan itu ada satu orang yang menjawab dengan ramah sambil bejalan kearah tiga orang yang bersama saya, “ oh … ke pos ya bang ..? “ Tanya orang itu, “kalo ingin mendaki gunung ciremai biasanya ngumpul dulu bang di warung pak Ahmad “ katanya lagi sambil menunjuk kea rah depan “ gak jauh kok, terus aja “ begitu.
Setelah mengucapkan terima kasih tiga orang yang bersama saya segera melanjutkan perjalan menuju tempat yang di tuju. Salah seorangnya bertanya pada saya “kamu bukan orang sini ? “, saya menggelengkan kepala, dia berkata lagi “ kenapa tadi kamu bilang tahu pos gunung ciremai ?? “ . Saya mati kutu dan harus jujur menceritakan kenapa saya kesini.
*****
Pemberontakan Bukanlah Nekad
Tawa yang sangat kencang dari mulut ketiga orang itu terdengar  fals, sambil menghisap lintingan rokok yang aromanya sangat aneh dan berbeda dari rokok kebanyakan, ketika mereka mendengarkan cerita perjalanan saya.
“Mendaki itu butuh Ilmu “ kata bang iwan salah seorang dari mereka, “bukan cuma nyali, kalo cuma pake nyali lo bakal mati “. itu kata yang tertutur saat saya mengutaran maksud saya untuk ikut dengan mereka mendaki gunung ciremai. “ udahlah mendingan lo pulang aja, lo masih punya banyak waktu kok, lagian rumah lo juga gak jauh dari sini kan ? “. Dengan logat Betawi ucapan itu yang sampai saat ini masih saya ingat walaupun sejak saat itu tidak pernah bertemu dengan mereka.
Kami menginap semalam sebelum esoknya berpisah di sekita bumi perkemahan Cibunar, salah satu tempat alternative bagi para pendaki bila akan mendaki Gunung Ciremai. Disana saya dapat melihat langsung dan menanyakan banyak sekali pertanyaan kepada mereka, tentang mengapa mendaki, apa saja yang perlu dibawa untuk mendaki, apa saja yang harus diketahui tentang mendaki dan masih banyak lagi.
Walaupun penjelasan mereka sekenanya dan penuh canda namun saya mengetahui langsung apa saja perlengkapan bawaan mereka sekaligus meminta catatan kepada bang iwan untuk di jadikan pengetahuan.
Sedikit kecewa dan lebih banyak senang serta membawa banyak pengalaman akhirnya pulanglah menjadi keputusan, setelah mengetahui  dan melihat langsung bahwa benar adanya Gunung itu dapat di daki oleh manusia dan apa saja yang mereka bawa, hati ini sedikit lebih tenang. Rasa penasaran dan pertanyaan dalam otak kini sudah terjawab, dengan kesimpulan pelajaran manis telah didapat saat ini, saya pun tersenyum lebar.

*****
Belantara Pecundang Nafsu
Berbekal pengalaman itu saya memutuskan untuk mendaki gunung ciremai yang sesungguhnya, namun kali ini saya tidak pergi sendiri, saya mengajak beberapa teman yang berminat untuk mendaki gunung, dan ternyata banyak teman  yang ikut serta.
Selama sekolah saya termasuk siswa yang lumayan beruntung, itu terlihat dari peringkat rapot saya yang tidak pernah lebih kurang dari peringkat tiga dan dua, hanya peringkat satu yang belum pernah saya dapatkan semasa sekolah di SMP. Karena itu pula banyak para guru dan siswa lainnya menaruh hormat kepada saya dan tentunya kalian tahu, bahwa kutu buku biasa berteman dengan kutu buku lainnya, itulah saya.
Namun dalam perjalanan mendaki gunung ciremai yang sebenarnya saya mendapatkan teman dari kalangan anak yang memang badung di sekolah atau tukang-tukang bolos yang reputasinya di sekolah kurang di akui dan tak pernah dilirik dan ternyata mereka lebih asik dalam senda gurau, sopan santun ala anak bandel ketimbang teman cupu saya disekolah, mungkin memang itulah diri mereka sebenarnya. Ternyata mereka mempunyai kehidupan nyatanya sendiri dan mereka lebih dihormati dalam kehidupan ciptaan mereka sendiri.
Dalam perjalanan mendakipun mereka selalu riang penuh suka cita, berbeda sekali ketika mereka berada di sekolah, mereka selalu ketakutan lantaran para guru mengecap mereka sebagai murid yang bandel dan pembangkang. Tuduhan para guru itu tak terbukti satupun disini, didalam belantara ini, mereka yang baru saja dekat dengan saya saat akan mendaki, sudah seperti saudara kandung sendiri  seakan kami sudah akrab bertahun-tahu lamanya. Kami begitu kompak, satu pemikiran bagaikan daun dengan pintu (daun pintu). Perselisihan hanya terjadi saat makan, mereka yang lebiih rakus biasanya mengambil bagian lebih banyak dari yang lain, dan tentunya yang merasakan ketidakadilan akan protes, lalu pertempuran sengit dan cacian dari mulut kotor mereka menjadi sangat sengit. Bagi sebagian kami yang tak perduli akan jatah makanan, itu menjadi tontonan menarik, lucu sekaligus menyenagkan. sungguh sebuah hiburan yang tak mudah untuk dilupakan hingga saat ini.
*****

Senandung Kopi Tubruk

Berjalanlah seiring irama hatimu
temukan nada setiap jalurnya
layaknya pendaki sejati selalu menemukan jalurnya
karena stiap jalur memiliki iramanya sendiri

“ Stupid Monkey ”

Benar orang bilang “Pengalaman pertama takkan pernah terlupakan “. Karena jelas sampai saat ini pendakian gunung ciremai bersama teman-teman di SMP belum juga bisa dilupakan, perjalanan itu begitu manis, indah penuh arti dan sangat susah untuk disepelekan. Perjalanan itu belum pernah kami bahas, belum pernah kami kenang kembali, karena sampai detik ini saya belum pernah bertemu lagi dengan mereka semenjak lulus SMP.
Disini, ditempat saya menulis cerita ini saya masih merasakan senangnya pertama kali mendaki, masih teringat celoteh-celoteh kotor mulut mereka. Karena dari sanalah saya mulai belajar mengenal orang lain, belajar lebih mendalami perjalanan yang sesungguhnya, dari sanalah saya mulai berani mengambil keputusan, belajar untuk lebih berani terutama menyingkapi kehidupan yang kompleks ini.
Beberapa gunung yang saya daki dengan berbagai cuacanya, dengan orang-orang berbeda, cara dan kehidupan penduduk sekitar gunung yang majemuk sudah bukan lagi hal asing saat ini. Jika kerinduan akan mendaki menusuk hati segera saja saya berangkat menuju gunung terpilih. Namun kerinduan untuk mengulang hal-hal indah pertama kali bersama mereka adalah impian yang tidaklah mungkin bisa kembali, karena walaupun waktu dapat berputar kembali, saya tidak akan bisa menduakannya. Karena mereka terlalu indah dan hanya kopi tumbruk yang akan menemani saya dalam kerinduan ini. 

11 komentar:

  1. mampir 'nyasar' ke sini..tibae di suguhi kopi tubruk

    BalasHapus
  2. We e' e' e'
    bolehlah...blog baru ya'

    BalasHapus
  3. wow....
    mantepz abis ni blok.... critain donk tentang bro petualangan yg paling sulit dlm mendki

    BalasHapus
  4. Hemm. Nich nyata pa ngarang gan? Arahnya ke gubug ane aja ya:-)

    BalasHapus
  5. Sometimes experience may simply not be enough and therefore it is necessary to think in advance whether you have enough strength for the project that you have in mind.

    BalasHapus
  6. This is incredible! Your article is very inspiring, especially for me. To my mind, you can be an example for many people. Thank you for this post.

    BalasHapus
  7. I also, as you do, prefer to have an active relax, especially on open air. I think, having time outdoors will give you more energy and inspiration than laying on a sofa.

    BalasHapus